Udang dan dingin adalah satu kesatuan yang bisa membuat seorang Jordan Flinch berada pada ambang kematian. Dua itu jika sudah tanpa sengaja menyerangnya, akan menimbulkan ruam kemerahan dan juga kesulitan bernapas serta berakhir pada asma yang kambuh. Benar, Jordan beserta udang dan dingin adalah musuh sebab itu bisa memicu alergi yang sudah lama ada pada dirinya. Seperti malam ini, dingin benar-benar melanda Jakarta seolah tanpa henti, ditambah ia juga tidak mengingat perihal bahan makanan yang ia konsumsi dan berakhir dengan ruam kemerahan serta tenggorokan seperti tercekik dan sakit, pemicunya ialah udang. Untung saja ia masih bisa mengontrol kesadaran dan memberikan kabar kepada temannya untuk ke rumah.
Benjamin lebih dahulu memacu gas mobil untuk menuju rumah Jordan. Sebelumnya, akan pergi menjemput Gabrielle dan akan segera membawa sang teman sekaligus adik ke rumah sakit. Namun jika Heléna yang lebih dahulu sampai, maka perempuan tersebut yang akan membawanya.
— — — — —
“Jo, Jordan di mana?” teriak Heléna sesaat setelah mematikan mesin mobil dan memarkirkan di halaman rumah bernuansa putih itu. Tungkai Heléna dibawa melangkah masuk, tak lupa ia memberi tau kepada Mbak Sumik jika anak dari majikannya alerginya tengah kambuh. “Mbak, kalau ada Benjamin sama Gabrielle ke sini bilang aja, Jordan udah dibawa pergi ke rumah sakit sama Heléna. Tolong panggil satpam buat bantuin bawa Jordan, ya.”
Kesadaran Jordan memang masih ada, namun napasnya mulai tersendat-sendat, beruntung inhaler ada dan bisa memberikan udara bagi Jordan kini. “Hey, wake up, jangan tidur dulu. Ini ke rumah sakit, Jo,” ujar Heléna pelan.
Dibawanya tubuh tinggi Jordan menuju mobil milik Heléna, tanpa ada ucapan apa pun, perempuan dengan surai berwarna hitam legam tersebut langsung membawa menuju rumah sakit tempat di mana Jordan biasa dirawat jika alergi atau asmanya kambuh seperti sekarang.
Di sisi lain, tidak lama setelah Heléna pergi, mobil BMW putih terparkir dengan sempurna. Tak lama keluar sosok Benjamin serta Gabrielle.
“Mbak Sumik!” seru Gabrielle lirih.
“Non Gabbi, den Jordan udah dibawa sama non Heléna tadi,” jawab Mbak Sumik menatap mata Gabrielle yang dihiasi dengan kontak lensa itu.
“Mbak, ada masak yang berbahan dasar udang?” Benjamin menyela obrolan yang akan berlanjut antara Gabrielle dan Mbak Sumik. “Soalnya Jordan nggak bisa makan udang, nggak ada toleransi sama sekali buat udang walaupun itu perisa,” lanjut Ben.
Benjamin hanya mampu menghela napas ketika diceritakan oleh Mbak Sumik perihal makanan yang dihidangkan di rumah ini. Mbak Sumik sendiri juga lupa memberi tau kepada art (asisten rumah tangga) baru itu jika Jordan Flinch memiliki alergi udang.
Hal ini tak lagi dibesarkan, yang jelas Benjamin sudah memberi pesan kepada Mbak Sumik untuk menegur asisten baru rumah ini dan sebisa mungkin menghindari olahan dari bahan dasar udang kecuali jika memang ada yang meminta.
Lorong rumah sakit nampak begitu sepi meskipun masih ada beberapa orang serta tenaga medis yang berlalu-lalang. Heléna dengan pikiran hanya mampu diam seraya menunggu dokter keluar dari ruangan yang di mana Jordan berada kini. Bagi Heléna, Jordan ini sudah seperti adik kecil yang harus dijaga, pun sama halnya dengan anggapan ini ketika bertanya kepada Gabrielle dan Benjamin. Terpaut dua tahun, membuat Jordan begitu dijaga oleh ketiga orang yang lebih tua ini.
Heléna menumpu wajah ayunya di antara lipatan telapak tangan, jelas masih risau sebab ini alergi Jordan yang kambuh bersamaan dengan asma setelah terakhir terjadi sudah cukup lama, ketika Jordan masih mengemban pendidikan di München sana.
“Lén!”
“Oh? Kalian udah dateng, belum keluar dokternya, tapi I hope Jordan’s allergy isn’t as bad as it was in Munich. His asthma was already manageable with the inhaler.”
“Don’t worry, Jordan is fine. Ben had warned through Mbak Sumik to tell the new assistant at Jordan’s house not to use shrimp or anything made from shrimp,” ujar Gabrielle menenangkan sang sahabat baiknya itu.
Obrolan itu harus diputus ketika dokter keluar dari ruangan Jordan. Kemunculan dokter itu membuat ketiganya bangkit dari kursi tunggu yang tersebar di setiap lorong rumah sakit. Benjamin berjalan lebih dahulu, mendekati dokter yang sudah berumur tersebut.
Dua perempuan cantik itu hanya mendengarkan apa yang tengah dikatakan oleh dokter kepada Benjamin, yang jelas menurut sang dokter sudah lebih baik dan Heléna cepat tanggap membawa ke rumah sakit.
— — — — —
“How do you feel right now, Jo?”
“Nothing. Everything oke, Kak Bri, worry not,” jawabnya pelan, ia masih mengatur ritme pernapasan setelah dibuat hampir kehabisan napas sebab udang bercampur dingin serta asma yang kambuh. “Ben, tolong kasih pengumuman di Twitter, gue belum bisa ngabarin relawan terpilih.”
Benjamin dengan kalimatnya talk less do more ini sigap langsung memberikan pengumuman terkait acara sosial yang akan Jordan lakukan nantinya. Maka tidak akan pernah heran jika laki-laki kelahiran Kanada itu selalu diandalkan untuk hak sesepele apa pun.
“Thanks, Ben.”
Malam ini akan menjadi malam yang panjang bagi Jordan. Ia kembali menghirup aroma obat-obatan dan melihat lalu-lalang tenaga medis untuk beberapa hari ke depan. Sudah lama tidak kambuh, kali ini harus kambuh di tengah-tengah sibuknya ia. Namun, Jordan beruntung sebab sang sahabat dengan begitu gerak cepat membantunya tanpa tapi; dengan secepat itu membantu tanpa harus bertanya perihal bantuan apa yang dibutuhkan, Jordan beruntung akan itu.
Hanya saja tumbangnya Jordan ini berdampak baik, mengingat laki-laki itu tidak akan istirahat jika tidak benar-benar sakit seperti sekarang. Ada kalanya, baik Benjamin, Heléna, maupun Gabrielle bersyukur namun tetap saja tidak ingin terulang kembali seperti sekarang.
— veljwrites, all right reserved.